Bogor – Koran Kongres LEI | Sertifikai hutan dinilai telah menjelma menjadi tata kelola baru pengelolaan dalam pengelolaan hutan dan peredaran produk perkayuan. Para analis menyebutnya sebagai non-state global governance, non-state market driven (NSMD) governance, transnational (business) governance, dan privat forest governance.
Demikian hasil studi yang dilakukan oleh Agung Wibowo, MuhammadAlif K. Sahide, Santi Pratiwi, Budi Darmawan, dan Lukas Giessen. Mereka adalah kelompok peneliti kehutanan dari Fakultas Kehutanan dan Ekologi Kehutanan, Universitas Georg-August, Gottingen, Jerman.
Agung Wibowo dan kawa-kawan merilis hasil studi yang mereka lakukan dalam Kongres III Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yang dihelat di Hotel Padjadjaran Suites, BNR, Kota Bogor, 9-11 Oktober 2014. Menurut Agung, sertifikasi hutan yang muncul pada awal tahun 1990-an kini telah menjadi sebuah rezim. Rezim sertifikasi hutan memiliki tiga ciri utama, yaitu bersifat global/transnasional, merupakan instrumen ekonomi, dan digerkkan oleh swasta (non pemerintah).

Resistensi atas keterlibatan pemerintah dalam bisnis sertifikasi hutan didasarkan pada pengamatan panjang bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya hutan pemerintah seringkali hanya berpihak pada keuntungan ekonomi dan abai pada pelestarian lingkungan, sehingga mereka kehilangan legitimasi untuk mewujudkan tata kelola hutan lestari.
Namun demikian, lanjut Agung, memasuki dua dasawarsa usia sertifikasi hutan, kehadiran tata kelola baru ini telah memunculkan pertanyaan mendasar: tanpa keterlibatan pemerintah sudahkah ia mampu berkontribusi dalam memperbaiki tata kelola hutan yang bermanfaat sosial, layak secara ekonomi, dan ramah lingkungan.
Hal tersebut menurut Agung mendorong kembalinya pemerintah dalam bisnis kehutanan. Sistem sertifikasi voluntary (sukarela) dinilai kurang mampu membendung laju deforestasi karena keterbatasan otoritas baik di sisi hulu (produsen) maupun hilir (konsumen) rantai pasok. Temuan-temuan mereka dianggap kurang bernilai di mata hukum pada sebuah negara meski menjadi bukti awal adanya pelanggaran hukum. (Fahir)