(Koran Tempo, Senin, 18 April 2005): Ratusan truk bemuatan batang-batang kayu ukuran besar hilir-mudik lalu-Ialang seperti tanpa lelah. Jalan-jalan di kota Pekanbarn seakan bergetar setiap kali iring-iringan truk itu lewat, menandakan sedemikian berat muatan yang mereka bawa.
ltulah pemandangan yang dilihat Tempo di kota tempat berdiamnya dua industri kehutanan raksasa, yaitu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) clan PT lndah Kiat Pulp and Paper, dua pekan lalu. Selain dua perusahaan itu, beberapa perusahaan kayu kelas menengah dan kecil juga beroperasi di wilayah itu.
TIdak ada yang berubah kendati operasi pemberantasan pembalakan liar Operasi Hutan Lestari sudab mulai masuk ke wilayah ini. \”Kayu-kayu masih terus saja clibawa dari hutan Riau. Frekuensinya tetap tinggi,\” ujar Aznimal, seorang warga Pekanbaru.
Memang masih sulit membuktikan soal asal-usul kayu yang masuk ke pabrik-pabrik besar itu. Namun, patut disimak, data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan soal ketimpangan antara kapasitas industri dan kemampuan hutan menyediakan kayu secara lestari.
Konsumsi rata-rata kayu bulat nasional sepanjang 1999-2004 sekitar 40 juta meter kubik. Jauh di atas kemampuan hutan menyediakan pasokan secara lestari yang hanya rata-rata sebesar 6,9 juta meter kubik. Memang ada tambahan sebesar 5 juta meter kubik, tapi ketimpangan itu tetap saja ada.
Dengan fakta itu, sangat wajar timbul pertanyaan dari mana industri memenuhi kebutuhan bahan bakunya? Belum ada yang berani menjawab secara tegas clan detail pertanyaan ini. Hanya, Menteri Kehutanan M.S. Kaban pernah mengatakan, sebagian besar industri kehutanan Indonesia menggunakan bahan baku ilegal.
Menurut dia, kondisi itu terjadi karena tidak tepatnya kebijakan pemerintah terdahulu dalam mengatur industri kehutanan. Terutama dalam pemberian izin kapasitas industri yang tidak memperhatikan kemampuan hutan menyediakan bahan baku secara lestari. \”Lebih-Iebih dengan maraknya praktek pembalakan liar memberi peluang industri membeli kayu ilegal dengan murah,\” ujarnya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Kaban belum berani memerinci soal langkah-Iangkah yang akan ditempuh dalam mengatasi kondisi yang telah menggurita ini. Menurut dia, program pemberantasan praktek pembalakan liar yang sedang dilaksanakan diharapkan akan dapat mengurangi praktek penyelundupan kayu ke luar negeri. \”Sehingga kebutuhan bahan baku industri nasional dapat terpenuhi,\” ujarnya.
Analis kebijakan sektor kehutanan Center for International Forestry Research (Cifor) Bambang Setiono meragukan upaya Kaban itu. Menurut dia, dengan kondisi sekarang ini ketika kebutuhan industri kehutanan yang sangat besar bisa dipastikan tidak akan terpenuhi oleh hutan alam, hutan tanaman, clan hutan rakyat \”Ketimpangan itu sangat jauh,\” katanya.
Menurut dia, sejauh belum ada solusi tepat tentang upaya pemenuhan kebutuhan industri kehutanan, program pemberantasan pembalakan liar yang digelar pemerintah tidak bisa pernah efektif. Program itu, kata Bambang, hanya akan memberikan dampak sementara. \”Selagi demand atas kayu ilegal tetap ada, praktek pembalakan liar itu akan tetap berlangsung clan kerusakan hutan akan tetap terjadi.\”
Anggota komisi kehutanan DPR Azwar Chesputra melihat bahwa sudah saatnya Departemen Kehutanan menggelar audit industri kehutanan yang komprehensif. Dengan audit itu bisa diketabui seperti kondisi riil industri serta angka pasti kebutuhan bahan bakunya. \”Langkah ini harus menjadi prioritas,\” ujarnya.
Dia mengungkapkan, percepatan pembangunan hutan tanaman industri adalah salah satu cara untuk mengatasi kebutuhan bahan baku industri. Menurut Azwar, pemerintah bisa memberdayakan perusahaan-perusahaan pelat merah sektor kehutanan untuk melaksanakan percepatan pembangunan hutan tanaman industri. \”Kalau perlu pembangunan hutan tanaman industri itu dijadikari program nasional,\” katanya.
Menurut Azwar, lambatnya perkembangan pembangunan hutan tanaman industri yang terjadi selama ini karena tidak ada insentif bagi pelakunya.
Malah, kata dia, triliunan rupiah dana reboisasi yang seharusnya digunakan untuk pengembangan hutan tanaman industri dipakai untuk keperluan yang tidak terkait dengan hutan. \”Kesalahan kebijakan masa lalu ini harus segera direvisi,\” ujar anggota Tim Pemantau Pemberantasan Illegal Logging DPR RI ini.
Pekerjaan berat memang tetap menggelayut di pundak pemerintah. Menyelaraskan kepentingan mempertahankan industri kehutanan dengan tetap menjaga kelestarian hutan memang bukan pekerjaan mudah. Tetapi kondisi itu bukan bagai memakan buah simalakama bagi pemerintah.
Menurut Azwar, pemerintah harus berani mengambil kebijakan melakukan restrukturisasi industri kehutanan nasional. \”Bisa diseimbangkan dan tidak perlu ada yang harus mati,\” ujarnya.