LEI – Lembaga Ekolabel Indonesia

Kebangkitan Industri Kehutanan tak Harus Habiskan Hutan Alam

Bogor, 5/2 (Republika): Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), organisasi berbasis konstituen (CBO) yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia, menyatakan bahwa untuk mendorong kebangkitan industri kehutanan tidak harus dengan menghabiskan sumber daya hutan alam.

\”Jadi, pemerintah perlu melihat alternatif lain dari hutan tanaman rakyat dan hasil hutan non kayu. Salah satunya adalah karbon. Hasil hutan non kayu dari hutan alam berbasis masyarakat yang lestari memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan devisa melalui perdagangan karbon,\” kata Manajer Komunikasi dan Advokasi LEI, Indra S Dewi, di Bogor, Jawa Barat, Kamis pagi.

Ia mengemukakan hal itu kepada ANTARA sehubungan dengan Kongres CBO II LEI yang akan diselenggarakan di Bogor pada hari Jumat (6/2).

Kongres yang dijadwalkan dibuka Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban itu juga dirangkaikan dengan seminar sehari atas kerjasama LEI dengan Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Tema yang dibahas adalah \”Menemukenali Pilihan-Pilihan Hukum bagi Pengelolaan Hutan Lestari berbasis Masyarakat\”, menghadirkan sejumlah pakar kehutanan, kalangan industri, LSM, masyarakat dan pemangku-kepentingan kehutanan lainnya, dari seluruh Indonesia.

Dikemukakannya, bahwa berbagai strategi pemerintah untuk menyelamatkan industri kehutanan yang sedang terpuruk kelihatannya belum menampakkan hasil yang menggembirakan.

Kondisi itu terbukti dari luasan hutan alam semakin berkurang, jumlah pemilik konsesi hutan alam yang terus menurun, dan hingga tahun 2008 tinggal 312 unit. Namun, kata dia, tampaknya pemerintah masih fokus bertumpu pada hasil hutan kayu.

Kenyataan ini, ditambah dengan kebijakan Menhut baru-baru ini yang menyatakan bahwa batas konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dapat diperpanjang dari tahun 2009 menjadi 2014 untuk mendukung industri pulp dan kertas.

\”Pemerintah tampak kehabisan pilihan untuk membangkitkan industri kehutanan,\” katanya.

Untuk itulah, katanya, kunci bangkitnya industri kehutanan Indonesia adalah keharusan akan adanya pengakuan hukum Hutan Berbasis Masyarakat.

\”Hutan yang ditanam oleh masyarakat berupa hutan rakyat sekarang malah menjadi primadona penyokong industri perkayuan di pulau Jawa,\” katanya.

Menjadi andalan
Menurut dia, industri furnitur yang mengandalkan kayu dari hutan rakyat kini mengalami perkembangan ekspor menggembirakan di tiga tahun terakhir.

Ia merujuk pada data ekspor Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) yang selama tiga tahun berturut-turut (2005 sampai 2007) terus mengalami peningkatan, yakni tahun 2005 1,79 miliar dolar AS, tahun 2006 naik menjadi 1,81 miliar dolar AS dan meningkat lagi tahun 2007 menjadi 1,96 miliar dolar AS.

Produk-produk itu meliputi meja, kursi, lemari dari rotan, kayu dan bambu. Bahan baku, khususnya rotan, dipasok oleh petani luar Jawa, seperti Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan.

\”Bahkan, ekspor furnitur menurut Asmindo dalam tahun 2008 ini telah mencapai 2 miliar dolar AS,\” katanya dan menambahkan bahwa pertumbuhan ekspor furnitur tersebut tidak terlepas dari penggunaan bahan baku kayu yang legal dan tidak merusak lingkungan, yaitu menebang sesuai kapasitas dan program penanaman kembali.

Ia juga mengatakan bahwa furnitur yang telah mendapatkan sertifikasi ekolabel akan mendapatkan tempat khusus di pameran furnitur dan kerajinan internasional (IFFINA) di Jakarta pada bulan Maret 2009.

Ditegaskannya kembali, bahwa hasil hutan non kayu dari hutan alam berbasis masyarakat yang lestari memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan devisa melalui perdagangan karbon, dan salah satu syarat areal hutan dapat diperdagangkan sebagai bahan baku perdagangan karbon adalah hutan yang dikelola secara lestari.

Hutan adat yang dikelola oleh masyarakat adat di beberapa tempat terbukti telah dikelola secara lestari, misalnya hutan adat yang dikelola oleh suku Dayak Iban di Sui (Sungai) Utik, yang hidup di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Malaysia.

Masyarakat Dayak Iban Sui Utik hanya memanfaatkan lahan seluas 9.452 hektar untuk memenuhi kebutuhan akan rumah, berburu, bertani, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Sebagai penghasilan mereka memanen karet untuk dijual.

Ia mengemukakan bahwa akhir tahun 2008, masyarakat Dayak Iban Sui Utik telah mendapat sertifikat ekolabel hutan lestari, disaksikan oleh Menhut MS Kaban. ant/fif

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top