LEI – Lembaga Ekolabel Indonesia

Menjaga Pusaka Bersertifikat

(Bogor, 10 Mei 2005): Jajaran pohon mahoni di hutan Wonogiri, Jawa Tengah, menyita perha­tian Luhat Wang. Pria gaek berusia sete­ngah abad itu tak bisa menyembunyikan kekagumannya. \”Di tempat saya tak ada pohon yang berdiri serapi ini,\” kata pria asal Kampung Long Ayan, Kecamatan Se­gab, Kabupaten Berau, Kalimantan Ti­mur itu.

Bersama enam rekannya, antara lain Camat Segah, Luhat Wang sedang meng­ikuti studi banding di hutan rakyat Kabu­paten Wonogiri, 15 -17 April lalu. Kegia­tan ini digalang World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (Persepsi).

Hutan rakyat di Wonogiri terletak di Desa Selopuro dan Sumberejo di Keca­matan Batuwarno. Hutan ini dijadikan percontohan lantaran mampu mening­katkan ekonomi warga desa. Selain itu, hutan di Selopuro dan Sumberejo menjadi hutan pertama di Indonesia yang meme­gang sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

Sertifikat itu diterima pada 18 Oktober 2004. LEI, didirikan Prof. Dr. Emil Salim pada 1994, adalah lembaga sertifikasi pengelolaan hutan dengan standar inter­nasional. Berbekal sertifikat dari lembaga itu, warga di sekitar hutan mampu menjual hasil hutan di atas harga pasaran. \”Kami jadi tak segan menanami lahan hutan,\” kata Heribertus Siman, 55 tahun, petani asal Desa Selopuro.

Hutan di Selopuro memiliki luas 262,77 hektare, sekitar sepertiga luas desa. Sedangkan hutan di Sumberejo luasnya 526,19 hektare, hampir sama dengan luas desa. \”Sebagian besar penduduk di dua desa itu mengandalkan pendapatan dari lahan hutan,\” kata Nurcahyo Adi, Koor­dinator WWF Indonesia. Tapi bukan semata-mata dari menebang pohon, me­lainkan juga bercocok tanam di lahan hutan.

Pada 1960, hutan di Selopuro dan Sum­berejo itu masih berstatus hutan negara. Kondisinya kering dan nyaris gundul. Ketika itu, masyarakat setempat didera rawan pangan. Mbah Sularjo, sesepuh Desa Sumberejo, lantas merintis penana­man akasia, jati, dan mahoni. Ia bersama warga setempat mengubah lahan miring menjadi berundak-undak (terasering).

Kerja itu dibayar dengan bulgur dan susu oleh LSM Wood Food Program. \”Sampai 1974, kami masih menanam ber­bagai pohon,\” kata Heribertus. Baru pada 1985, setelah begitu banyak pabon tum­buh clan memberikan hasil, Perhutani mengubah status hutan negara menjadi hutan rakyat. Warga desa lantas membentuk organisasi petani.

Upaya itu diikuti dengan pembagian lahan kepada petani. \”Hingga kini, banyak lahan yang sudah jadi hak milik petani,\” kata Taryanto Wijaya, 38 tahun, pemimpin Program Pengorganisasian dari Persepsi. Petani tetap menanami lahan dengan akasia, jati, dan mahoni. Bibitnya disediakan pemerintah daerah setempat.

Pada 1999, dikembangkan pemeliha­raan tanaman selain kayu seperti tanaman pangan, yakni uwi, gembili, suweg, dan talas serta empon-empon (tanaman obat). Hasil tanaman ini menjadi andalan hidup para petani. Sedangkan pohon hanya ditebang bila ada pesanan.

Itu pun dengan syarat yang sudah menjadi tradisi. Yakni menebang pohon dengan meninggalkan akarnya di dalam tanah untuk menahan erosi, mengganti setiap pohon dengan bibit yang sama, dan hanya membolehkan menebang pohon tua. Kebiasaan ini berlangsung hingga kini. Pada 2002, petani mulai berupaya memperoleh sertifikasi hutan.

Upaya tersebut dibantu WWF Indo­nesia dan Persepsi. Ahli produksi hutan, lingkungan, dan sosial didatangkan untuk menilai hutan rakyat di Wonogiri. Tak sulit bagi para petani untuk memperoleh sertifikasi, lantaran secara adat dan turun ­temurun mereka telah memperlakukan hutan bak pusaka. Setahun kemudian, sertifikasi dari LEI turun.

Dengan sertifikat itu, kayu dari hutan rakyat nilainya meroket. Bila sebelumnya harga kayu jati Rp 800.000 per kubik, setelah memegang sertifikat menjadi Rp 1,3 juta. Begitu pula dengan kayu trembesi yang menjadi Rp 650.000 per kubik dari sebelumnya Rp 100.000. Pasarnya juga meluas hingga ke luar negeri, karena banyak negara di Eropa dan Amerika hanya membeli kayu yang dilengkapi ser­tifikat ekolabel.

Sertifikat tersebut berumur 15 tahun dan sewaktu-waktu bisa dicabut bila terjadi kerusakan lingkungan akibat salah penge­lolaan. Sistem kerja hutan rakyat di Wo­nogiri, menurut Nurcahyo, bisa dipakai untuk menekan penyelundupan kayu. \”Sebab warga sudah merasa memiliki hu­tan dan akan menjaganya,\” kata Nurcahyo.

Inilah yang membuat hati Luhat Wang tergelitik. Di Selopuro dan Sumberejo yang hutannya sedikit saja, warganya bisa mengandalkan hidup dari mengelola hu­tan. \”Mengapa di tempat saya tidak bisa,\” kata Luhat sambil terus memelototi ratu­san pohon akasia yang berdiri rapi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top