Oleh : Wahyu F Riva
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai independent third-party mempunyai visi menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui sistem sertifikasi ekolabel yang kredibel. Dalam salah satu misinya, LEI akan mengembangkan sistem sertifikasi pengelolaan sumberdaya alam diantaranya adalah di bidang kehutanan, kelautan, perkebunan, dan lain-lain. Sejak tahun 1993 sampai dengan pertengahan tahun 2004 ini, sertifikasi bidang kehutanan mendominasi perjalanan LEI sebagai pengembang sistem sertifikasi ekolabel. Meskipun demikian, bidang kelautan sebenarnya telah dimulai inisiasinya sejak akhir tahun 1998 oleh LEI dengan dukungan stakeholder kelautan sampai saat ini.
SEJARAH INISIASI
Terdapat 2 (dua) NGO internasional yang concern terhadap pelestarian sumberdaya laut, Marine Aquarium Council (MAC) yang lebih memfokuskan pada marine aquarium fish and corals dan Marine Stewardship Council (MSC) yang lebih memfokuskan pada isu fish for food menjadi reference bagi LEI. Sejak bulan Oktober 1998, beberapa stakeholder di bidang ekspor produk kelautan dan organisasi internasional seperti MAC telah melakukan pendekatan dan dukungan kepada LEI untuk memulai menggarap isu tersebut.
Pada tanggal 14 Desember 1998, LEI telah memulai langkah awal dengan mengadakan pertemuan dengan stakeholders sebagai a preliminary brainstorming mengenai sistem sertifikasi produk kelautan yang waktu itu diharapkan bahwa LEI akan menjadi the lead dalam pengembangan inisiatif sertifikasi ekolabel produk kelautan.
Seiring dengan perkembangannya, bersama dengan Proyek Pesisir/CRMP dan Kehati, LEI mengadakan lokakarya yang bertema ‘Menuju perancangan sistem sertifikasi produk kelautan’ pada tanggal 30 – 31 Maret 1999 di Jakarta. Banyak pihak yang hadir dalam lokakarya tersebut diantaranya Ditjen Perikanan, PHPA, LIPI, IMA, MAC, Gappindo, NOAA, MSC, dan masyarakat Taka Bonarate. Lokakarya ini membahas 3 isu besar yaitu isu tentang kebijakan untuk pemanfaatan sumber daya laut lestari, inisiatif sertifikasi, dan perspektif pasar.
Beberapa point penting hasil diskusi selama 2 hari itu diantaranya :
1. Diperlukan desain awal sertifikasi, dimana ranangan sertifikasi tersebut harus dikaitkan dengan manajemen produksi serta mempertimbangkan market place
2. Lebih difokuskan pada pembuatan framework dalam kerangka satu pikiran dengan pertimbangan bahwa pembagian fish for food dan fish for fun secara otomatis akan masuk dalam kriteria dan indikator yang dibangun dalam framework tersebut.
3. Mengidentifikasi beberapa permasalahan yang terjadi yang hal ini tergantung pada produk apa yang akan disertifikasi.
4. Perlu dilakukan identifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan produk yang akan disertifikasi.
Setelah lokakarya tersebut, hampir 2,5 tahun posisi LEI dalam kevakuman, tidak ada tindak lanjutnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang seriusnya LEI dalam menentukan posisinya untuk mengembangkan sertifikasi kelautan. Selain itu juga kemungkinan belum ada staf di LEI yang secara khusus menangani isu sertifikasi kelautan ini.
KETERLIBATAN LEI DAN DUKUNGAN PARA PIHAK
Keterlibatan para pihak sangat penting peranannya didalam pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan sistem sertifikasi produk kelautan. Hal ini dikarenakan sistem sertifikasi produk kelautan mempunyai tujuan untuk mewujudkan pengelolaan produk kelautan yang lestari dan adil melalui proses penerapan prinsip transparansi maksimum, partisipatif, bertanggung gugat, dan tidak diskriminatif.
Dengan dukungan para pihak (stakeholders ), semangat untuk menginisiasi sertifikasi kelautan bangkit kembali. Diawali dengan ‘Pertemuan Antar Pakar Sistem Sertifikasi Produk Ornamen Laut’ yang diselenggarakan oleh LEI dan WWF pada tanggal 26 – 27 Februari 2001 di Bogor. Pertemuan ini mengundang beberapa pakar dibidangnya yaitu Prof. Hasyim Djalal (ahli hukum lingkungan dari UI), Dr. Neviaty P Zamani (ahli ekosistem terumbu karang dari IPB), Fredinan Yulianda, MSc (ahli ekosistem terumbu karang dari IPB), Dr. Achmad Fauzi (ahli ekonomi perikanan dari IPB), dan Arif Satria, MSc (ahli sosial perikanan dari IPB).
Pertemuan ini diantaranya membahas tentang :
1. Kondisi terumbu karang di Indonesia dari sudut pandang produksi, ekologi/lingkungan, sosial-ekonomi dan hukum lingkungan.
2. Identifikasi masalah dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang di Indonesia.
3. Perumusan model sistem untuk menjawab permasalahan terumbu karang di Indonesia.
4. Tinjauan sistem sertifikasi produk ornamen laut yang dikembangkan oleh Lembaga Pengembang Internasional berdasarkan Garis Besar Sistem yang telah dirumuskan.
Pada pertengahan tahun 2001, mulailah LEI membangun jaringan (networking ) dengan berbagai pihak. Keterlibatan LEI sebagai bagian dari perjalanan menuju sertifikasi kelautan nampaknya memang memerlukan dukungan dan semangat yang lebih besar dari stakeholder . Berikut ini disampaikan beberapa keterlibatan LEI secara aktif dalam menginisiasi sertifikasi kelautan di Indonesia.
Jaringan Kerja Sertifikasi Kelautan (JKSK)
Jaringan ini dibentuk pada tanggal 27 Agustus 2001 di Bogor dengan sekretariat di LEI. Latar belakang berdirinya jaringan ini adalah melihat kenyataan di bidang kelautan yang sampai saat ini masih terjadi peningkatan ekspoitasi yang mengancam kerusakan ekosistem terumbu karang dan upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang optimal. Selain itu juga telah terjadi ketidakadilan distribusi hasil bagi nelayan atau komunitas lokal. Untuk itulah maka perlu jaringan yang khusus menangani sertifikasi kelautan.
Visi JKSK adalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Sedangkan misi JKSK adalah kerja sama dalam proses pengembangan, penguatan, dan pengawasan sistem sertifikasi ekolabel yang mendorong distribusi hasil yang adil bagi masyarakat lokal. Sedangkan ruang lingkup kerja JKSK adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan, penguatan, pengawasan sistem sertifikasi ekolabel untuk produk ikan karang konsumsi dan ornamen.
Anggota jaringan ini adalah LEI, WWF, Telapak, Yayasan Terangi, Yayasan Tennela (Semarang), Yayasan Mitra Bentala (Lampung), Yayasan Mattirotasi (Makasar), dan Yayasan Bahtera Nusantara (Bali) dan Yayasan Minang Bahari (Padang), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman /LEPMIL (Makasar), Yayasan Konservasi Laut (Kendari) dan Yayasan Laksana Samudera (Riau). Tiga lembaga terakhir baru bergabung pada tanggal 12 September 2002 di Bali.
Agenda JKSK diantaranya adalah menyusun MoU, menyusun proposal bersama dan menyusun program kerja yang terdiri atas dukungan untuk pengembangan, pengawasan dan penguatan sistem sertifikasi kelautan.
Beberapa pertemuan/kegiatan yang telah diadakan JKSK adalah :
1. Pertemuan di Bali pada tanggal 24 Mei 2002. Pertemuan ini membahas program kerja tahun 2002. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa pada tahap awal JKSK akan mengangkat isu pengelolaan ikan hias laut. Kegiatan yang disepakati berkaitan dengan isu tersebut adalah mengumpulkan data base tentang pengelolaan ikan hias laut. Data base tersebut dikumpulkan di LEI sebagai sekretariat JKSK. Rencananya, dari data base tersebut akan dilokakaryakan sekaligus untuk inventarisasi permasalahan dan pengelolaan ikan hias laut di Indonesia.
2. Capacity Building anggota JKSK di Bali pada tanggal 9–12 September 2002. Kegiatan ini merupakan sharing informasi tentang sistem sertifikasi yang telah dikembangkan oleh Marine Aquarium Council (MAC) dan pengalaman kerja anggota JKSK di lokasinya masing-masing.
3. Pertemuan di Bali pada tanggal 12 September 2002. Pertemuan ini membahas MoU dan program kerja. Draf MoU sudah final dan telah siap untuk ditandatangai oleh semua lembaga. Program kerja yang telah disepakati adalah membentuk Tim Proposal yang terdiri atas Wahyu (LEI), Imran dan Ghonjess (Telapak), Fini (WWF) dan Silvianita (Terangi). Tim ini bertugas untuk menyusun proposal JKSK yang akan menjadi program bersama mulai tahun 2003.
4. Pertemuan Tim Proposal di Bogor pada tanggal 4 November 2002. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa proposal berisi 4 program yang terdiri atas program Feasibility Study (Terangi), Program Pengembangan Sistem Sertifikasi (LEI), Capacity Building (Telapak) dan Campaign (WWF). Sistem sertifikasi yang akan dikembangkan adalah Sistem Sertifikasi Pengelolaan Ikan Hias Laut Lestari. Tim akan bertemu kembali pada bulan Januari 2003 untuk membahas draf proposal lebih lanjut.
Sampai saat ini, baru 2 proposal yang telah diselesaikan yaitu dari LEI dan Terangi. Kendala utama dalam penyusunan ini adalah kesulitan sekretariat dalam berkomunikasi dengan anggota Tim. Kesulitan ini disebabkan kesibukan beberapa Tim yang mereka lebih banyak bekerja di lapangan serta ada anggota Tim yang telah keluar dari lembaganya.
KESEPAKATAN HASIL PERTEMUAN DENGAN LSM KELAUTAN
Pertemuan ini diselenggarakan oleh LEI pada tanggal 25 Oktober 2001 di Kantor LEI Bogor. Peserta yang hadir adalah LEI, IMA, Telapak, WWF, Kehati, Terangi, Palung, Paramitra Jatim, Tennela, dan Minang Bahari. Dalam pertemuan ini dihasilkan kesepakatan sebagai berikut :
Para pihak sepakat untuk memberikan mandat kepada LEI dalam mengembangkan Sistem Sertifikasi Perikanan Karang yang terdiri dari, namun tidak terbatas pada :
Menyusun rencana umum pengembangan sistem
Mendesiminasikan minute of meeting hasil pertemuan ini
Menugaskan 1 orang yang akan bertugas penuh menangani sistem sertifikasi
Membentuk Tim Independen (Januari 2002)
Perkembangan terakhir dari kesepakatan ini masih belum jelas kemana arah selanjutnya. Hal ini disebabkan isu perikanan karang untuk sertifikasi masih menjadi perdebatan yang cukup serius diantara beberapa pihak. Beberapa pihak menginginkan ditunda dulu sampai terjadi kesepakatan semua pihak. Untuk itu, LEI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan program ini sampai terjadi kebulatan kesepakatan semua pihak.
INDONESIA CORAL REEF WORKING GROUP (ICRGW)
Pemanfaatan perdagangan terumbu karang di Indonesia, khususnya karang hidup untuk ekspor perlu dikaji lebih dalam, berdasarkan isu-isu negatif yang terbentuk diberbagai kalangan baik dalam dan luar negeri. Untuk memulai proses pengkajian maka dilaksanakan temu teknis dengan sasaran untuk mendapatkan suatu kesepakatan terhadap perdagangan karang yang diselenggarakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Depperindag di Bali pada tanggal 31 Oktober – 2 November 2001 yang dihadiri oleh berbagai pihak termasuk LEI. Kesepakatan yang dicapai dalam acara ini adalah bahwa pemanfaatan perdagangan karang hidup dapat dilanjutkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Langkah stategis untuk melaksanakan kesepakatan tersebut adalah dengan membentuk Coral Reef Working Group (CRWG) yang anggotanya terdiri atas perwakilan LSM, pemerintahan, perguruan tingi dan industri yang dikoordinir oleh Terangi dan difasilitasi oleh DKP. Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 20 November 2001 di kantor DKP.
Agenda utama pertemuan CRWG adalah menyusun dokumen Pola Pemanfaatan Karang Hias secara Lestari (PPKHL). Sampai saat ini, CRWG telah mengadakan 10 kali pertemuan yang membahas dokumen PPKHL. Pada tanggal 8 Juni 2002 telah dibentuk Tim Perumus PPKHL yang bertugas menyempurnakan dokumen PPKHL. Anggota Tim Perumus berasal dari beberapa perwakilan institusi anggota CRWG.
Pertemuan berikutnya tanggal 28 Juni 2002 di Ruang Rapat UNESCO, Jakarta yang membahas lanjutan hasil perumusan Tim Perumus PPKHL untuk mendapatkan masukan dari anggota. Pada bulan Juli 2002, CRWG juga telah membentuk dan memberangkatkan Tim Survei ke Rembang, Jawa Tengah dan Lampung untuk mensurvei dan meneliti kondisi dan cara pemanfaatan karang hias guna penyempurnaan dokumen PPKHL.
Pertemuan tanggal 24 – 27 Agustus 2002 di Lampung dalam bentuk Lokakarya. Lokakarya ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari stakeholder terutama nelayan dan pengusaha (eksportir) yang terlibat langsung dalam perdagangan karang hias. Lokakarya ini juga merupakan kegiatan finalisasi dokumen PPKHL.
Perkembangan terakhir ICRWG diantaranya adalah :
1. Telah diterbitkan buku Pola Pemanfaatan Karang Hias Lestari (PPKHL)
2. ICRWG dibagi menjadi 2 sub grup pembahasan yaitu sub grup sertifikasi dan sub grup transplantasi. Hal ini didasarkan pada kebutuhan yang mendesak akan kedua isu tersebut agar dapat diselesaikan dengan cepat dengan waktu yang bersamaan.
Untuk sub grup sertifikasi, LEI menjadi koordinatornya. Sub grup sertifikasi telah melakukan satu kali pertemuan pada tanggal 28 Agustus 2003 di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari Menko Perekonomian, AKKI, Terangi, DKP dan Kehati.
Hasil pertemuan ini berupa beberapa rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti oleh ICRWG yaitu :
1. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai pengembangan sistem sertifikasi, maka perlu dilakukan yaitu studi tentang praktek pengelolaan SDA terutama karang hias di Indonesia
2. Studi tentang kebijakan pemerintah dalam pengelolaan karang hias di Indonesia
3. Kedua studi bertujuan untuk melihat kaitannya dengan sistem sertifikasi yang akan dikembangkan
4. Perlu perencanaan kegiatan program sub grup sertifikasi yang lebih matang
Rencananya kedua sub grup (transplantasi dan sertifikasi) akan bertemu (diplenokan) tetapi sampai saat ini belum ada informasi dari TERANGI yang akan memfasilitasi poertemuan tersebut. Hingga saat ini belum ada perkembangan dari terangi sebagai koordinator ICRWG.
PROGRAM KERJA SAMA LEI DENGAN IMA-INDONESIA
Sejak Februari 2002, LEI juga bekerja sama dengan International Marinelife Alliance-Indonesia (IMA-Indonesia) untuk melaksanakan rangkaian proses menuju pengelolaan sumberdaya laut yang lestari.
Diskusi pertama dengan IMA telah dimulai pada tanggal 15 Februari 2002 di kantor IMA Bogor yang membahas isu-isu strategis dalam bidang kelautan dan dan rencana kegiatan bersama. Pertemuan lanjutan di adakan pada tanggal 26 Maret 2002 di Kantor LEI yang membahas rencana mengadakan Lokakarya yang bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan di bidang kelautan dan menginventarisasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan sumber daya laut.
Pertemuan terakhir pada tanggal 5 Agustus 2002 yang membahas rencana pertemuan dengan kelompok stakeholder kelautan. Sebelum dilakukan kegiatan tersebut LEI akan membuat backround paper sebagai bahan diskusi sekaligus menjelaskan kepada publik tentang posisi LEI dalam pengelolaan sumber daya laut lestari. Program kerja sama ini masih dalam proses/sedang berjalan.
SEAFOOD ECOLABEL WORKING GROUP (SEWG)
SEWG Jakarta terbentuk pada tanggal 26 Maret 2003 di Jakarta. Cikal bakal SEWG adalah pertemuan para pihak yang diinisiasi oleh WWF dan Yayasan Unilever Peduli (ULI) pada tanggal 3 April 2002 di Jakarta dengan tema Sertifikasi Ekolabel Perikanan Konsumsi Laut. Peserta yang diundang diantaranya adalah DKP, Depperindag, KLH, Pusat Studi Kelautan UI, ALSI, PKSPL-IPB, FORKERI, LEI, dan Terangi. Pada pertemuan ini membahas secara umum tentang isu sertifikasi dan identifikasi permasalahan dalam perikanan konsumsi laut.
Pertemuan demi pertemuan telah diselenggarakan dengan isu sentral sertifikasi perikanan laut. Hingga terbentuklah SEWG Jakarta dengan tujuan membangun pengertian yang sama diantara stakeholder dalam pengembangan sertifikasi, meningkatkan kesadaran dan pengertian semua pihak akan insentif yang diperoleh dengan melestarikan lingkungn laut, sebagai wadah berbagi informasi, dan mendiskusikan bagaimana pengembangan sertifikasi kelautan di Indonesia.
Saat ini telah terbentuk 6 Kelompok Kerja (Pokja) di Jakarta, Jateng, Cirebon, Sulteng, Sulut, dan Sulsel. Pokja-pokja ini mempunyai misi yang hampir sama dengan SEWG Jakarta. Hanya saja penekanan isu-isunya lebih banyak menyentuh permasalahan dan kondisi di daerah masing-masing. SEWG Jakarta sendiri telah melakukan pertemuan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tanggal 21 Januari 2004 di Jakarta.
Pertemuan seluruh SEWG kemudian diadakan dengan tema Workshop Nasional SEWG di Bali, 9 – 10 Februari 2004. Dalam workshop ini panitia (WWF dan Yayasan ULI) mengundang stakeholder kelautan mulai dari perwakilan dari pemerintah, LSM, pengusaha, akademisi dan masyarakat. Workshop ini bertujuan untuk menyamakan persepsi bersama-sama tentang permasalahan yang terjadi di perikanan laut dan membahas isu sertifikasi perikanan laut secara nasional.
Hasil workshop diantaranya adalah terbentuk Tim Perumus yang bertugas merumuskan hasil workshop dan mengidentifikasi permasalahan berkaitan dengan perikanan laut (konsumsi). Anggota Tim Perumus terdiri dari perwakilan tiap Pokja. Posisi LEI sebagai advisor. Hingga saat ini belum ada informasi dari koordinator sudah sejauh mana Tim Perumus bekerja.
PERTEMUAN TINGKAT NASIONAL
LEI juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan atau pertemuan tingkat nasional diantaranya Konferensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia di Bali, 21- 24 Mei 2002 dengan tema Membangun Kemitraan dan Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Indonesia dan Lokakarya Penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 20 Mei 2002, Hotel Radison Bali.
Keterlibatan dalam berbagai pertemuan baik tingkat nasional maupun internasional sangat penting bagi perkembangan LEI. Oleh karena itu, LEI perlu mengembangkan jaringan yang lebih luas lagi. Selain untuk mempromosikan sertifikasi ekolabel kelautan juga dapat dijadikan wahana untuk mempromosikan posisi dan perkembangan LEI kepada stakeholders kelautan baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
TIGA INISIASI BESAR
Melihat progress dari rangkaian kegiatan yang telah diikuti oleh LEI secara aktif berkaitan dengan inisiasi sertifikasi kelautan, sebenarnya telah banyak pelajaran dan infromasi selama ini. Dari rangkaian kegiatan tersebut, LEI telah mencatat bahwa saat ini terdapat 3 inisiasi besar untuk mengembangkan sistem sertifikasi produk kelautan yaitu :
1. Pengelolaan Ikan Hias Laut Lestari. Program ini diinisiasi oleh JKSK dan merupakan hasil kesepakatan anggota. Secara khusus, pengembangan sistemnya diserahkan kepada LEI dan anggota JKSK lainnya membantu dalam bidang feasibility study, persiapan capacity buiding nelayan (pendampingan nelayan oleh anggota) dan campaign terhadap sistem sertifikasi yang akan dikembangkan oleh LEI. Sampai saat ini, status program ini masih dalam penyusunan proposal bersama dan penjajagan kerja sama dengan donatur dalam operasioanlnya.
2. Pengelolaan Karang Hias Lestari. Program Sertifikasi ini diinisiasi oleh Pokja Terumbu Karang (Indonesian Coral Reef Working Group/ICRWG). Program pertama dari Pokja ini adalah merevisi dokumen Pola Pemanfaatan Karang Hias Lestari yang telah disusun oleh LIPI. Program ini telah selesai dan dokumennya telah dicetak. Selanjutnya telah dibentuk 2 sub grup yaitu sub grup sertifikasi dan sub grup transplantasi. LEI menjadi koordinator dalam sub grup sertifikasi. Saat ini, sub grup sertifikasi telah melaksanakan satu kali pertemuan pada tanggal 28 Agustus 2003 dan telaha merumuskna beberapa rekomendasi yang akan dipresentasikan pada anggota ICRWG. Hingga saat ini belum ada pertemuan lanjutan.
3. Pengelolaan Perikanan Laut Konsumsi Lestari. Inisiasi untuk mengembangkan sistem ini muncul dari rangkaian pertemuan yang difasilitasi WWF dan Yayasan ULI. Saat in telah terbentuk Pokja Perikanan Laut (SEWG) di 6 propinsi besar yaitu di Jakarta, Jateng, Cirebon, Sulteng, Sulut, dan Sulsel. Pertemuan seluruh SEWG dalam bentuk Workshop Nasional pada tanggal 9 – 10 Februari 2004 di Bali merupakan pertemuan terakhir yang diikuti oleh LEI. Hingga saat ini belum ada tindaklanjut dari pertemuan ini.
Tiga inisiasi besar telah dicatat dan ditangkap oleh LEI. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana LEI menyikapi peluang sekaligus tantangan ke depan berkaitan dengan ide sertifikasi kelautan di Indonesai ini ?
MEMBANGUN KAPASITAS NASIONAL
Membangun sertifikasi bukanlah hal yang mudah. Perangkat-perangkatnya harus dipenuhi dan struktur-strukturnya harus dilaksanakan. Perangkat tersebut diantaranya adalah adanya Lembaga Akreditasi (LA), Lembaga Sertifikasi (LS), Lembaga Sertifikasi Personel (LSP), Lembaga Pelatihan (LP), Forum Komunikasi Daerah (FKD), dan Dewan Pertimbangan Sertifikasi (DPS) yang satu dengan lainnya saling terkait.
LA adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan akreditasi terhadap badan atau badan hukum yang melaksanakan program sertifikasi dan kegiatan pendukungnya, dalam hal ini adalah LEI. LS adalah badan atau badan hukum yang memiliki kompetensi untuk memberikan jasa sertifikasi yang telah diakreditasi oleh LA. LSP adalah badan atau badan hukum yang memiliki kompetensi untuk melakukan sertifikasi personel program sertifikasi ekolabel dan telah diakreditasi oleh LA. LP adalah badan atau badan hukum yang memiliki kompetensi untuk melakukan kegiatan pelatihan sertifikasi ekolabel dan telah diakreditasi oleh LA. FKD adalah tata laksana verifikasi, pengabsahan dan/atau penyelesaian keberatan atas keputusan sertifikasi melalui forum diskusi kelompok dengan pihak-pihak terkait. Sedangkan DPS adalah suatu dewan yang dibentuk dan diberi mandat khusus kepada pihak-pihak yang terkait dalam sistem sertifikasi untuk menyelesaikan persengketaan yang muncul sehubungan dengan adanya keputusan dan ketetapan sertifikasi.
Dalam pelaksanaannya, LS akan bekerja sesuai dengan kompetensi untuk memberikan jasa sertifikasi sesuai dengan produk/bidang yang akan disertifikat, seperti LS Hutan Produksi, LS Hutan Tanaman, LS untuk Hutan Berbasis Masyarakat, LS Lacak Balak dan LS sumberdaya alam lainnya. Begitu juga dengan LSP, lembaga ini akan melakukan pelatihan sertifikasi ekolabel untuk panel pakar (expert panel) dan penilai lapangan (assesor)
Selain itu diperlukan perangkat lunaknya berupa sistem sertifikasi kelautannya. Ada beberapa tahapan dalam penyusunan sistem sertifikasi, diantaranya adalah :
1. Menyusun Naskah Akademis mengenai relevansi dari sistem sertifikasi yang akan dikembangkan dengan menganalisis dan mengkaji berbagai model-model dan inisiatif pengelolaan dan pemanfaatannya beserta logical framework-nya.
2. Melakukan review dan analisis atas dokumen-dokumen yang telah ada mengenai kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan produk yang akan disertifikasi baik di tingkat nasional maupun internasional.
3. Menyusun sistem sertifikasi yang terdiri atas : kriteria dan indikator, termasuk verifier, Metode Penilaian Lapangan, Prosedur pelaksanaan sertifikasi, Persyaratan bagi pelaksana sistem sertifikasi, Prosedur pengambilan data lapangan dan sistem pengambilan keputusan sertifikasi
4. Melaksanakan konsultasi publik dan uji coba lapangan atas sistem sertifikasi yang telah dikembangkan untuk menghimpun masukan dan rekomendasi atas berbagai masalah dan kendala dalam pengembangan sistem sertifikasi agar credible dan dapat diterima serta dipertanggungjawabkan kepada publik.
5. Menetapkan standar dan pedoman sistem sertifikasi yang telah siap untuk diimplementasikan.
Membangun kapasitas nasional merupakan keharusan dalam pelaksanaan sistem sertifikasi. Selain sebagai penguatan kelembagaan dan sistem sertifikasinya, kapasitas nasional juga berfungsi sebagai kontrol publik atas proses penilaian sampai pengambilan keputusan yang transparan, bertanggung jawab, dan bebas dari konflik kepentingan.
PENUTUP
Kesulitan yang dihadapi dalam proses pengembangan sistem sertifikasi adalah karena sertifikasi dibangun dengan melibatkan multistakeholders maka semua pihak yang relevan dan concern terhadap sistem sertifikasi yang akan dikembangkan harus dilibatkan. Selain itu, pengembangan sistem sertifikasi memerlukan waktu yang agak lama, adanya perbedaan-perbedaan persepsi di tingkat penyusunan sistem terutama dalam kerangka ilmiah, kesulitan dalam menentuan sistem pengambilan keputusan dan pemahaman masyarakat yang masih kurang di tingkat substansi dan implementasinya.
Perlu disadari bahwa sertifikasi ekolabel merupakan salah satu alat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lestari dan bersifat voluntary (suka rela). Untuk itu diperlukan keseriusan, komitmen dan kapasitas nasional yang tinggi dalam mengembangkan sistem sertifikasi sehingga sistem sertifikasi yang dibangun akan kredibel, diterima oleh semua pihak dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terakhir, selamat merayakan HUT RI ke-59. Mudah-mudahan semangat juang 45 dapat kita teladani guna mendorong semangat yang lebih tingi untuk terus memperjuangkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui sertifikasi ekolabel yang kredibel. Semoga.