LEI – Lembaga Ekolabel Indonesia

Sangkep Beleq III untuk Kepastian Akses Kelola Masyarakat

Mataram – Masyarakat sekitar hutan mempunyai keterikatan yang sangat erat dengan hutan di wilayahnya. Demikian juga keterikatan masyarakat yang ada di wilayah Sesaot, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat ini hutan Sesaot dikelola oleh petani yang tergabung dalam empat kelompok HKm, yaitu KMPH, Wana Lestari, Wana Darma, dan Wana Abadi. Di antara keempat kelompok tersebut, KMPH telah mendapatkan ijin HKm dari Bupati untuk mengelola areal seluas 185 Ha.

Di propinsi NTB terdapat beberapa kawasan yang telah dicadangkan menjadi areal kerja HKm, yaitu Sesaot berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No: 445/Menhut-II/2009 tanggal 4 Agustus 2009 tentang penetapan areal kerja HKM di Kabupaten Lombok Barat, kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara dengan SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009 dan kawasan hutan Sambelia di Kabupaten Lombok Timur dengan SK Menhut No; 444/Menhut-II/2009.

Terkait dengan kawasan Sesaot, meskipun telah dicadangkan dan ditetapkan menjadi areal HKm berdasarkan SK dari Kementerian Kehutanan, dan masyarakat sudah terbiasa dengan pola HKm, tetapi pemerintah Dinas Kehutanan Provinsi NTB menginginkan kawasan tersebut menjadi Taman Hutan Raya (Tahura). Dinas Kehutanan Propinsi NTB berpedoman kepada SK Menteri Kehutanan Nomor 244/Kpts-II/1999 tanggal 27 April 1999 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Sesaot menjadi Taman Hutan Raya dengan nama Taman Hutan Raya Nuraksa. Padahal menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Barat, H.L. Syaiful Arifin seperti disitat Antara News, penetapan hutan lindung Sesaot seluas 5.950 hektare menjadi Tahura oleh pemerintah Provinsi masih belum memenuhi syarat. Hal tersebut dikarenakan empat syarat yang meliputi penataan batas, pengukuran, pengukuhan dan peresmian belum terpenuhi.

\”Selama ini Pemerintah Provinsi NTB, hanya mampu menunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tahura, namun empat tahapan lainnya belum dipenuhi,\” katanya kepada Antara. Dilihat dari dasar legal yang ada, lebih bijak apabila acuan yang digunakan adalah SK Kemenhut terbaru mengenai pencadangan dan penetapan areal HKm, terkecuali dari pihak Dinas Kehutanan Provinsi mempunyai inisiatif lain terkait penetapan hutan Sesaot menjadi Tahura.

Selain belum terpenuhinya syarat tersebut, dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh tim Tim Verifikasi Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan di Sedau, Lebah Sempage dan Sesaot, menyebutkan bahwa kawasan hutan lindung yang dimohon untuk areal kerja hutan kemasyarakatan secara keseluruhan layak untuk ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan. Masyarakat juga menginginkan adanya peninjauan kembali terhadap SK Menhut tahun 1999 tentang Kawasan Tahura mengingat ketergantungan masyarakat pada kawasan tersebut sangat tinggi, dan sangat mengharapkan hutan tersebut dapat dikelola dengan pola hutan kemasyarakatan (HKm).

Masyarakat tidak bersedia keluar dari kawasan hutan Sesaot karena kehidupan mereka sangat tergantung dengan hutan yang di wilayahnya, baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun kelangsungan pendidikan anak-anaknya.

Selain dari hasil verifikasi, kelompok-kelompok masyarakat pengelola HKM juga mengeluarkan pernyataan sikap bersama masyarakat pengelola hutan kawasan Sesaot.

Menurut Ahmad Mulyadi, Ketua Forum Kawasan Hutan Sesaot, hal tersebut dilakukan sebagai respon terhadap Dinas Kehutanan Provinsi NTB yang menyelenggarakan Lokakarya Rekonstruksi Model Pengelolaan Tahura Nuraksa Berbasis Masyarakat di kawasan Hutan Sesaot.

\”Bahwa kami, masyarakat mampu memberikan jaminan kelestarian hutan dan lingkungan serta sumberdaya air tanpa mengurangi manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan, untuk itu kami siap berdialog dengan semua pihak terkait dengan pernyataan sikap kami ini,\” katanya

Sangkep Beleq dan Kesepahaman Tujuan
Berawal dari kondisi tersebut, difasilitasi oleh KONSEPSI maka kelompok HKm dan pemangku kehutanan terkait mengadakan acara Sangkep Beleq atau pertemuan akbar. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, KONSEPSI bermitra dengan Ford Foundation, ACCES Phase II, LEI, ICRAF, FKKM, ICEL, FFI, Dewan Kehutanan Nasional, World Neighbors dan Lapera. Sangkep Beleq yang diadakan pada tanggal 29 Desember 2010 mendatang merupakan pertemuan ketiga dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dengan tujuan untuk melakukan konsolidasi terhadap diberikannya pengakuan pengelolaan dengan pola HKm.

Sebelum pelaksanaan Sangkep Beleq, diadakan lokakarya tentang pengelolaan sumberdaya hutan dan jasa lingkungan berbasis masyarakat lestari. Dalam lokakarya yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat tersebut, akan dirumuskan berbagai strategi dalam pengelolaan hutan dan jasa lingkungan berbasis masyarakat lestari. Lokakarya yang diadakan dihadiri oleh Staff Khusus Menteri Kehutanan Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Dirjen BPDAS/RLPS, ICRAF, Bappeda Provinsi NTB, Dewan Kehutanan Nasional, SGP-GEF, LEI dan juga dari Universitas Mataram.

Terkait lokakarya tersebut, Rahmat Sabani, Direktur KONSEPSI mengatakan “Lokakarya ini akan merumuskan juga masukan-masukan dari pemerintah kabupaten Lombok Barat kepada Kementerian Kehutanan terkait diakuinya pola pengelolaan HKm, karena pemerintah kabupaten telah menyatakan dukungannya terhadap pola tersebut, dan diharapkan rumusan yang konkrit bisa dihasilkan melalui bertemunya para pihak terkait. Masukan ini yang akan disampaikan oleh bupati kepada Kementerian Kehutanan agar pengelolaan dengan skema Tahura bisa ditinjau kembali dan pengelolaan dengan skema HKm sesuai keinginan masyarakat bisa diwujudkan”.

Sesudah lokakarya, Sangkep Beleq dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 2010 yang berlokasi di Dusun Kumbi, Lebah Sempage. Akan hadir pada acara tersebut diantaranya dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Koperasi dan UKM, Gubernur NTB, Bupati Lombok Barat, Bupati Lombok Timur, Bupati Lombok Utara, Dishut Provinsi dan Kabupaten, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi dan Kabupaten serta Kecamatan, Kepolisian, Desa, LSM, ketua blok dan anggota kelompok/penggarap HKM, hingga kalangan swasta.

Salah satu agenda dalam Sangkep Beleq adalah dialog multipihak, antara masyarakat dengan pemerintah dan kalangan swasta. Melalui dialog tersebut diharapkan adanya kesepahaman parapihak untuk perluasan akses dan kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan berbasis masyarakat lestari, rencana-rencana strategis dalam upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan menuju pengelolaan hutan lestari (PHL) dan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, Hayu Wibawa dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menjelaskan bahwa kepastian hak kelola masyarakat dengan pola HKm akan menjadi titik kritis dalam pengelolaan sumberdaya yang lestari, terutama di kawasan Sesaot. “Selama ini ketergantungan masyarakat sangat tinggi terhadap pola HKm, dan dari hasil analisis LEI, masyarakat mampu melakukan pengelolaan HKm tersebut secara lestari dan bertanggung jawab, bahkan tinggal selangkah lagi layak untuk mendapatkan sertifikat ekolabel,” katanya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top