(Oleh: Irwan Gunawan dan Aditya Bayunanda) : Apakah sertifikasi ekolabel? Sertifikasi ekolabel (selanjutnya hanya disebut “sertifikasi” dalam tulisan ini) merupakan instrumen berbasis pasar sebagai sebuah pengakuan atas praktek pengelolaan hutan yang baik (lestari). Praktek pengelolaan hutan yang baik diharapkan dapat memenuhi suatu standar pengelolaan aspek ekologi, ekonomi dan sosial tertentu. Standar pengelolaan hutan yang diacu dikembangkan oleh pihak ketiga yang independen dan proses penyusunannya harus memenuhi prinsip-prinsip transparansi, bertanggung-gugat dan melibatkan para pihak yang relevan (pemerintah, ornop, akademisi, entitas bisnis dan perwakilan masyarakat langsung).
Pelaksanaan sertifikasi mengacu kepada suatu sistem yang terdiri dari standar, prosedur, persyaratan minimum dan panduan pengambilan keputusan sertifikasi. Jelasnya, sebuah sistem sertifikasi secara komprehensif haruslah berisikan
(1) seperangkat kriteria dan indikator yang menjadi acuan dalam proses penilaian kinerja suatu unit manajemen hutan;
(2) prosedur yang mengatur tata laksana proses sertifikasi;
(3) Persyaratan minimum bagi pelaksana sertifikasi; dan,
(4) sebuah metode akademis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengambilan keputusan sertifikasi.
Di Indonesia, telah ada Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) –sebuah organisasi not for profit- yang menjalankan fungsi sebagai lembaga akreditasi, pengembang sistem sertifikasi dan menyiapkan segala infrastruktur yang diperlukan bagi pelaksanaan sertifikasi. Pada mulanya inisiatif ini berbentuk kelompok kerja yang terdiri dari individu-individu yang berasal dari kalangan akademisi, pemerintah, ornop dan pengusaha yang diketuai oleh Prof. Emil Salim, kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga pada awal tahun 1998. Untuk menjaga kredibilitas sistem sertifikasi yang dibangun, dibentuk Dewan Pertimbangan Sertifikasi (DPS) yang terdiri dari individu-individu yang teruji kredibilitas dan independensinya (dari LEI sekalipun). DPS ini berfungsi untuk melakukan verifikasi atas keberatan yang diajukan oleh publik atas suatu keputusan sertifikasi.
Disamping itu, dibentuk pula Forum Komunikasi Daerah (FKD) yang merupakan forum multi pihak di daerah yang perannya diharapkan tidak hanya terlibat dalam proses sertifikasi, tetapi lebih luas dari itu dapat pula menjadi wadah yang representatif untuk mendiskusikan pengelolaan sumberdaya alam di tingkat lokal. Mengapa harus dikembangkan sistem sertifikasi untuk hutan berbasis Masyarakat? Inisiatif sertifikasi untuk hutan berbasis masyarakat merupakan kesempatan untuk memperluas akses komunitas pengelola hutan menuju pasar internasional yang lebih bernilai ekonomis.
Sebuah sertifikat atas pengelolaan hutan berbasis masyarakat dapat memberikan sebuah loncatan luar biasa (enormous boost) bagi proses rekognisi dan publisitas terhadap unit manajemen yang bersangkutan, meskipun unit manajemen tersebut termarjinalisasikan oleh pemerintah pusat. Publisitas yang dipicu oleh sertifikasi, bahkan dapat menarik lembaga-lembaga lain baik ditingkat nasional maupun internasional untuk mengkaji aspek-aspek terkait lainnya. Intinya, sertifikasi menjangkau senarai publik yang sangat luas dari tingkat nasional sampai internasional dan tidak hanya sebatas kalangan konsumen ekosensitif saja.
Sampai saat ini, kurang lebih telah ada 2 (dua) juta hektar hutan berbasis masyarakat di dunia yang mendapatkan sertifikat. Namun demikian, secara keseluruhan unit manajemen hutan berbasis masyarakat tersebut masih berkonsentrasi pada produk kayu. Bentuk organisasi pengelolanya pun sangat bervariasi. Mulai dari yang sederhana dengan luasan 286 ha di Kostarika sampai dengan organisasi pengelola yang telah maju seperti Menominee Tribal Enterprise di Amerika Serikat. Untuk konteks Indonesia, LEI telah mengembangkan sistem sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Sistem ini dibangun berangkat dari semangat untuk mendorong rekognisi PHBM di Indonesia di tingkat internasional. Namun demikian, karakteristik PHBM yang unik dan beragam menuntut dikembangkannya sebuah sistem sertifikasi yang mampu mengadopsi keunikan dan keberagaman tersebut.
Sehingga, dalam sistem sertifikasi PHBML yang dikembangkan akan ditemukan sistem sertifikasi yang berbeda pendekatannya dengan sistem sertifikasi untuk Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) dan Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL). Tidak sedikit kalangan yang setengah hati dengan inisiatif ini melihat situasi PHBM di Indonesia yang masih belum kondusif untuk pelaksanaan sertifikasi. Sebut saja, bahwa beberapa pihak belum memiliki pandangan yang seragam tentang PHBM atau keengganan pemerintah untuk lebih serius mengedepankan PHBM sebagai model pengelolaan hutan masa depan. Terlepas dari perdebatan mengenai perlu tidaknya sertifikasi untuk PHBM, titik “start” untuk sertifikasi PHBM harus dipancangkan. Mengingat cepat atau lambat, sertifikasi akan menyentuh hutan yang dikelola oleh masyarakat di Indonesia.
Seperti apa sistem sertifikasi PHBML yang dikembangkan oleh LEI? Hal yang pertama kali dilakukan adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk PHBM yang ada di Indonesia. Proses ini didekati dengan 4 (empat) variabel: Alokasi peruntukan lahan/hutan, tujuan pengelolaan, jenis produk yang dihasilkan dan status penguasaan tanah.
Alokasi peruntukan lahan terdiri dari Kawasan Budidaya Kehutanan, Kawasan Budidaya Non Kehutanan dan Kawasan Lindung. Tujuan pengelolaan terbagi menjadi subsisten dan komersial. Jenis produk yang dihasilkan terdiri dari kayu dan non-kayu. Sedangkan, status penguasaan tanah terdiri dari tanah negara, tanah adat (individu dan komunal) dan tanah hak milik. Dari persilangan keempat variabel dengan sub-variabelnya tersebut, maka ditemui 48 tipe PHBM (lihat tabel 1). Keterbatasan informasi dan teknologi penilaian sertifikasi sampai saat ini belum memungkinkan untuk mencakup produk hasil hutan non kayu, sehingga sistem yang dibangun hanya diperuntukkan untuk produk kayu saja. Dengan demikian, untuk PHBM dengan produk kayu terdapat 24 tipe pengelolaan (lihat tabel 2.).
Dari keduapuluhempat tipe pengelolaan ini, dilakukan kategorisasi untuk memudahkan pemilihan skema sertifikasi yang sesuai. Kategori pertama adalah kelompok tipe PHBM yang berada di kawasan lindung yang dikeluarkan dari sistem sertifikasi PHBML. Kelompok kedua adalah kelompok tipe PHBM yang berada di kawasan budidaya kehutanan, bertujuan komersial dan status penguasaan lahannya merupakan tanah negara atau tanah adat komunal. Kelompok ketiga adalah tipe-tipe PHBM yang mengusahakan kayu secara komersil di atas tanah-tanah adat yang dikuasai secara individual dan tanah-tanah hak milik formal (bersertifikat), yang letaknya berada pada kawasan budidaya kehutanan. Dengan demikian, secara keseluruhan dalam sistem sertifikasi PHBML untuk sertifikasi sumberdaya hutan (forest resource certification) saat ini ada 2 model penilaian yang dikembangkan berdasarkan kategori PHBM yang ada, yaitu:
1. Penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi, namun dengan menggunakan standar penilaian yang berbeda sesuai fungsi publik yang diemban oleh suatu unit manajemen PHBM.
2. Sertifikasi diajukan oleh lembaga independen yang kredibel, bisa berupa LSM, lembaga penelitian, atau institusi lain yang berkompeten. Lembaga independen ini –dengan persetujuan tertulis dari komunitas pengelola hutan- kemudian mengajukan sebuah laporan yang sangkil dan mangkus mengenai kinerja unit PHBM yang diajukan, kemudian laporan ini cukup diverifikasi oleh panel pakar yang ditunjuk oleh sebuah lembaga sertifikasi. Namun demikian, sertifikasi model ini hanya diperuntukkan bagi PHBM yang telah teruji, baik oleh waktu maupun lewat pengkajian ilmiah, dapat menunjukkan kinerja yang baik dalam melestarikan fungsi hutan. Walaupun ada perbedaan pihak yang menjadi pemohon/pengaju sertifikasi, antara model I dan model II, prinsip utama yang dipegang dalam proses ini adalah kesukarelaan (voluntary-based) dari pihak pengelola, baik selaku pemohon maupun selaku pemberi persetujuan. Begitupun dengan pemohon yang berasal dari pihak ketiga, prinsip kesukarelaan ini tetap dijadikan dasar untuk bertindak. Perbedaan model dalam sertifikasi sumberdaya hutan ini juga berimplikasi pada usia sertifikasi (usia atas keberlakuan sertifikat yang diberikan jika suatu unit manajemen atau kelompok masyarakat dinyatakan “lulus”), dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembiayaan sertifikasi, dan pengembangan sistem silvikultur yang menyangkut jenis tanaman dan sistem penebangan. Dapatkah sertifikasi ekolabel berjalan untuk hutan berbasis masyarakat? Kembali kepada judul tulisan ini, dapatkah sertifikasi berjalan untuk hutan berbasis masyarakat?. Jawabannya ada pada peran seluruh pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia.
Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan sertifikasi PHBML ini tidak selesai pada pengembangan sistem sertifikasinya. Namun lebih jauh yang perlu di perhatikan adalah penyiapan komponen penting lainnya, seperti penyiapan kelembagaan dan peningkatan kinerja masyarakat pengelola hutan, hubungan dengan pasar internasional, pembiayaan sertifikasi. Selain itu juga diperlukan waktu untuk mensosialisasikan sistem sertifikasi PHBML, menyiapkan penilai lapangan, panel pakar dan lembaga sertifikasi yang kredibel. Untuk itu, sejak Mei 2002 LEI telah mengupayakan Pilot Proyek untuk sertifikasi PHBML ini. Dalam program Pilot proyek ini, LEI bekerjasama dengan KpSHK, AMAN, WWF, SHK Kaltim, ARuPA dan Persepsi. Diharapkan Pilot Proyek ini dapat menjawab pertanyaan besar yang menjadi judul tulisan ini.