Dalam paham ekonomi kesejahteraan (welfare economics), pasar yang bersaing akan mendorong tercapainya pengalokasian sumber daya yang efisien secara ekonomis. Namun demikian, kondisi pasar persaingan sempurna dalam perekonomian hampir mustahil dijumpai karena prasyarat-prasyarat persaingan tersebut sulit dipenuhi. Salah satu faktor penyebab kegagalan pasar yang bersaing adalah informasi yang asimetris.
Informasi yang asimetris merupakan karakteristik yang banyak dijumpai dalam situasi bisnis. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa kebanyakan produsen lebih banyak paham tentang kualitas produknya daripada konsumen. Dalam dunia ideal, semestinya konsumen akan mampu memilih antara produk yang berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Meski beberapa konsumen memilih produk yang berkualitas rendah karena pasti harganya lebih murah, terdapat konsumen yang tetap lebih suka membayar lebih mahal untuk produk berkualitas tinggi. Sayangnya, konsumen tidak dapat dengan mudah menentukan kualitas suatu produk hingga mereka telah membelinya.
Bentuk kegagalan pasar yang terjadi akibat informasi yang asimetris adalah pemilihan yang merugikan (adverse selection). Hal ini muncul apabila produk dengan kualitas berbeda-beda dijual dengan satu harga karena konsumen tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk menentukan kualitas yang sebenarnya pada saat membeli. Akibatnya, akan banyak produk berkualitas rendah dan sedikit produk berkualitas tinggi yang ada di pasar. Implikasi informasi yang asimetris tentang kualitas produk dianalisa pertama kali oleh George Akerlof tahun 1970 (Pindyck et al, 2001).
Ulasan tentang informasi yang asimetris di atas sangat relevan untuk menelaah transaksi perdagangan produk kehutanan saat ini, utamanya produk kayu. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana dampak dari informasi yang asimetris dapat diminimalisir sehingga baik produsen maupun konsumen dapat sama-sama merasakan manfaat dari transaksi yang terjadi. Selanjutnya, peran apa yang harus diemban oleh pemerintah untuk memastikan bahwa produk kehutanan berasal dari sumber daya hutan yang dikelola berdasar prinsip-prinsip kelestarian, dengan demikian konsumen menerima informasi produk secara transparan.
Paradoks Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari
Pengelolaan hutan lestari menjadi kredo yang didengungkan banyak pihak sejak tahun 1990-an. Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap produk kayu yang berasal dari hutan yang lestari dan makin meluasnya degradasi hutan di berbagai belahan dunia, mendorong munculnya inisiatif-inisiatif dari masyarakat sipil untuk menyusun standar dan sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari. Beberapa inisiatif antara lain dari Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) – sebelumnya The Pan-European Forest Certification, dan di Indonesia sendiri muncul inisiatif nasional dengan pembentukan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
Dengan penggalangan yang intensif dari organisasi-organisasi lingkungan, maka sertifikasi hutan yang didorong secara voluntary, menjadi alat pengendali pasar yang sangat istimewa. Produsen harus memenuhi standar yang memuat pengaturan-pengaturan dan pembatasan-pembatasan agar produknya dapat diterima pasar. Di sisi lain, pembeli atau konsumen terbebas dari batasan-batasan. Dengan bahasa lain, produsen atau pengelola hutan dituntut berkomitmen terhadap prinsip-prinsip kelestarian sementara konsumen tidak dibebani untuk memberikan apresiasi lebih terhadap produk-produk kayu bersertifikat. Sehingga, secara paradoksal, sertifikasi sebagai alat pengendali pasar justru dipisahkan dari pasar itu sendiri (Cris van Dam, 2003).
Upaya-upaya untuk memberikan informasi yang benar kepada konsumen sangat tergantung pada kredibilitas dan reputasi dari produsen. Dalam konteks inilah, maka, standarisasi menjadi kata penentu. Pertanyaannya, bagaimana sebuah standar disusun sehingga pihak-pihak yang terkait memberikan kepercayaan penuh? Tidak bisa tidak, bahwa standar tersebut haruslah merupakan hasil dari proses-proses partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, sertifikasi voluntary akan mengikat secara moral baik produsen maupun konsumen.
Sertifikasi pengelolaan hutan lestari juga menjadi instrumen mengatasi informasi yang asimetris melalui pemberian isyarat pasar (market signaling). Konsep isyarat pasar yang dikembangkan oleh Michael Spence (Pindyck et al, 2001) menunjukkan bahwa dalam pasar, produsen dan konsumen memberikan isyarat yang menyampaikan informasi tentang kualitas produk. Labelisasi produk kayu (ecolabeling), sejatinya adalah titik kompromi antara produsen dan konsumen. Produsen melalui label yang telah melalui proses yang terstandarisasi menginformasikan kualitas produknya, sementara konsumen sebagai pengguna bisa melakukan verifikasi atas kualitas produk tersebut kepada lembaga-lembaga sertifikasi yang memberikan jaminan kualitas produk tersebut.
Intervensi Pemerintah
Meski ada tekanan-tekanan kuat dari organisasi-organisasi lingkungan dunia, tidak serta merta pengelola hutan dan produsen mempunyai komitmen yang kuat untuk menerapkan standar pengelolaan hutan lestari dengan mekanisme voluntary. Masih terbukanya celah pasar yang masih toleran terhadap produk kayu non sertifikat , rendahnya insentif pasar terhadap produk bersertifikat , serta kondisi pemungkin (enabling condition) yang tidak memadai untuk pemenuhan standar, seperti pembalakan liar, perambahan dan konflik tenurial, berakibat pada lambatnya perkembangan hutan bersertifikat lestari di Indonesia.
Karenanya, terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No, P-38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dapat dipandang sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk mengatasi rendahnya pemenuhan kinerja pengelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian. Meski juga, intervensi ini tidak terlepas dari tekanan dari luar negeri yang dikemas dalam bentuk Voluntary Partnership Agreement (Kesepakatan Kerjasama Sukarela) untuk pemberantasan pembalakan liar antara Indonesia dan Uni Eropa.
Hutan pada dasarnya adalah barang publik (public goods) dan sumber daya milik bersama (common property resources), yang daya yang dapat diakses orang dengan bebas. Akibatnya, sumber daya tersebut dapat digunakan secara berlebihan yang mengakibatkan terciptanya eksternalitas, di mana penggunaan sumber daya masa kini akan merugikan generasi yang akan menggunakannya pada masa mendatang. Oleh karenanya, melalui kontrol regulasi, pemerintah dapat memberikan ijin pengelolaan kepada pihak swasta. Di sini, pemerintah memperoleh legitimasi ketika sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan verifikasi legalitas menjadi mandatory sifatnya.
Bagaimana mengupayakan keberterimaan pasar atas proses mandatory tersebut? Pertama, prinsip-prinsip kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas harus dapat dibuktikan melalui proses penilaian dan verifikasi. Harus dijamin bahwa ada ruang untuk publik untuk menyuarakan preferensi mereka.
Kedua, pasar mempunyai preferensi yang berbeda terhadap produk-produk bersertifikat mandatory dan voluntary. Peran masyarakat sipil seperti organisasi sosial dan lingkungan, sangat kuat untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang standar dan prosedur penilaian. Sertifikasi mandatory akan bersaing dengan dengan sertifikasi voluntary, seperti FSC dan PEFC yang telah memberikan preferensi kuat kepada konsumen ditingkat internasional. Bahkan LEI, sebagai inisiatif voluntary nasional, saat ini telah mulai dapat diterima di pasar Jepang dan kalangan pasar Eropa. Sangat baik jika KAN yang ditunjuk menjalankan proses sertifikasi dan verifikasi mandatory dapat duduk bersama dengan LEI, membentuk sinergi dan aliansi strategis untuk bersaing di pasar internasional. Pemerintah juga perlu memberikan pengakuan kepada inisiatif para pelaku usaha yang telah menerapkan sertifikasi secara voluntary, sehingga pasar juga dapat merespon secara positif atas sikap Pemerintah tersebut.
Ketiga, semestinya ada informasi yang jelas tentang posisi sertifikasi kinerja pengelolaan hutan lestari dan verifikasi legalitas secara mandatory, untuk menghindari bias tafsir kepada konsumen. Legalitas semestinya ditempatkan sebagai bagian dari proses menuju pengelolaan hutan secara lestari. Apa yang telah dikembangkan oleh LEI melalui skema sertifikasi bertahap, dapat memberikan gambaran tentang posisi kedua proses tersebut.
Perlu waktu untuk melihat tanggapan pasar terhadap skema mandatory. Apapun, tingkat preferensi konsumen terhadap produk hutan pasti akan terus berubah, sehingga sudah semestinyalah penerapan standar pengelolaan hutan lestari baik mandatory maupun voluntary, dalam rangka mereduksi informasi yang asimetris, secara kontinyu direview dan diperbaiki.
Oleh: Purwadi Soeprihanto
Rimbawan Praktisi, Anggota Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI
Artikel ini dimuat di Tabloid Agroindonesia, No. 259 tgl 21 – 27 Juli 2009