Kapanlagi.com, 13 Agustus 2009 – Sertifikasi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) atas produk hasil hutan yang dikelola secara adil dan lestari membutuhkan bantuan penggalangan informasi dari pemerintah dan negara dalam hal ini bantuan penggalangan informasi dari Departemen Luar Negeri (Deplu) agar masyarakat dunia mengetahui.
\”LEI telah mampu melahirkan skema sertifikasi yang sekelas bahkan ada beberapa keunggulan dengan skema-skema sertifikasi hutan nasional, regional maupun internasional, namun informasi mengenai hal ini belum mendapatkan dukungan pemerintah dan negara secara proporsional,\” kata Jajag Suryoputro dari PT Jawa Furni Lestari, pelaku bisnis furnitur berbasis ekolabel kepada ANTARA di Bogor, Jawa Barat (Jabar), Rabu.
Ditemui disela-sela sarasehan dengan tema \”Peran Sertifikasi Ekolabel Dalam Perlindungan Keanekaragaman Hayati dan Pengurangan Dampak Perubahan Iklim\”, ia memberi contoh mengenai hal itu, ketika berinteraksi dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di wilayah Amerika Serikat (AS) dan Uni-Eropa, yang bahkan nama LEI saja mereka tidak tahu.
\”Justru Dubes AS di Indonesia (Cameron R Hume-red) saat kita bertemu dan menjelaskan mengenai LEI, mereka langsung mengatakan tahu mengenai LEI dan tugas-tugasnya dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia,\” katanya.
Hingga kini, telah berkembang bermacam-macam skema sertifikasi hutan yang diakui dan sudah dilaksanakan di lapangan, baik yang dikembangkan sebagai suatu inisiatif nasional, regional, maupun internasional.
Beberapa skema sertifikasi hutan tersebut adalah yang dikembangkan oleh FSC (Forest Stewardship Council), PEFC (Pan-European Forest Certification), CSA (Canada`s National Sustainable Forest Management Standard), SFI (Sustainable Forest Initiative), American Tree Farm System, LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia), dan yang lainnya.
Jajag Suryoputro mengatakan, berdasarkan pengalaman memasarkan produk furnitur ke pasar dunia ia mendapati fakta bahwa end-user sama sekali tidak mempermasalahkan skema maupun akreditasi dari manapun, namun yang paling penting produk hasil hutan itu diperoleh dari sistem yang benar dengan adanya sertifikasi ekolabel itu.
\”Jadi kalau saya jualan produk (furnitur) tidak pernah ditolak, karena produk adalah produk, dan sertifikasi adalah pembungkus di mana `dosa` mereka terampuni karena membeli produk yang benar,\” katanya.
Ia mengakui bahwa kendala terbesar yang dihadapi dalam produk furnitur berbasis ekolabel adalah belum adanya dukungan negara dan pemerintah seperti diharapkan.
\”Kalau ada dukungan terintegrasi seperti dari Deplu, Departemen Perdagangan, dan juga Depdagri maupun Dephut sendiri, maka masyarakat dunia akan tahu bahwa dengan cara konvensional, yakni skema sertifikasi LEI, ternyata kelestarian hutan bisa dibangun,\” katanya.
Untuk itu, ia kembali menegaskan bahwa dengan dukungan terintegrasi semacam itu, maka akses pasar langsung atas produk kehutanan yang dikelola dengan cara yang benar bisa dilakukan.
\”Ketika Deplu menggalang informasi mengenai LEI untuk bisa didistribusikan kepada KBRI-KBRI di luar negeri, ini sudah memancing guna membangun dukungan bahwa sertifikasi yang dibangun di Indonesia mampu menjamin sebuah produk hutan diperoleh dengan cara yang benar,\” kata Jajag Suryoputro.
Diterima Perancis
Menurut Manajer Akreditasi LEI Gladi Hardiyanto, \”Maisons du Monde\” (MdM), sebuah perusahaan berbasis di Perancis, berkomitmen untuk memanfaatkan produk-produk furnitur berbahan baku kayu dengan sertifikat ekolabel dari Indonesia.
Produk-produk tersebut, katanya, termasuk dari hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY yang telah mendapat sertifikat ekolabel dari LEI.
Ia menjelaskan, PT Jawa Furni Lestari atau yang sering dikenal dengan \”Rumah Jawa\” telah berhasil lulus dalam penilaian sertifikasi lacak balak (chain of custady) skema LEI dan telah mendapatkan sertifikat lacak balak dari PT TuV International Indonesia.
\”Dengan demikian, `Rumah Jawa` menjadi perusahaan furnitur dan kerajinan pertama yang mendapat sertifikat lacak balak dengan skema LEI yang sebagian produk-produknya berbahan baku kayu. Bahan itu berasal dari areal hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul yang telah mendapatkan sertifikat PHBML (Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari),\” katanya. (kpl/cax)